Ya Allah....lucu, menggemaskan namun juga "nganyelke"
lha wong presiden aja mau jadi imam shalat kok....
Friday, December 12, 2008
Jadi Imam kok nolak ya
Tuesday, December 9, 2008
Lalu apa sebenarnya tugas kita (sebagai takmir)???
Astagfirullah…kumulai tulisan ini dengan memohon ampun pada-Mu ya Rahman…
Inilah batas kesabaran yang hari demi hari coba kusimpan, akhirnya harus dan kucoba ungkapkan melalui tulisan ini. Tentang kegelisahan, tentang ketida nyamanan, tentang komitmen, tentang pemahaman, tentang ’aqad, tentang kebersamaan, tentang sensitivitas dan tentang amanah untuk mencintai masjid.
Amanah menjadi takmir masjid adalah amanah yang mulia. Demikian selalu kuingat kata-kata lembut itu terlontar dari alat ucap murabbiku saat aku utarakan hasrat dan ajakan mas Ahmadi agar aku mau menjadi takmir masjid Nurul Huda. Terus terang baru pertama kalinya bagiku, menjadi satu pengalaman yang baru ketika ku dihadapkan pada satu pilihan dan tawaran yang baru. Takir mengandung arti yang menyemarakkan, yang memakmurkan dan yang meramaikan. Jadi kalau diikuti dengan kata masjid dibelakanganya, mengandung arti yang baik, yakni mereka orang-orang yang selalu berusaha sekuat tenaga karena didasari oleh kepahaman untuk memakmurkan masjid dengan segala amalan kebaikan, menjaga kebersihan, kerapian, segala sarana prasarana serta fasilitas yang ada di masjid. Semua adalah tanggung jawab takmir. Hal ini berkaitan dengan tujuan yang mulia, yakni agar jamaah yang menggunakan fasilitas masjid baik untuk ibadah shalat ataupun untuk kegiatan-kegiatan keagamaan lain dapat merasa betah untuk berlama-lama di dalam masjid.
Namun hari ini, pemahamanku diawal yang kudapat dari interaksiku dengan para assabiqunal awwalun dalam permasalahan kemasjidan di UNS ini khususnya mulai pudar. Hari ini tak kulihat lagi semangat menjadi seorang pelayan bagi jama’ah, hari ini tak dapat kulihat lagi sensitivitas diri untuk memiliki rasa pemilikan yang besar akan masjid ini.
Yang kulihat hari ini, adalah segerombolan orang-orang yang bertempat tinggal di masjid. makan. minum dan bermukim disana
Yang kulihat hari ini adalah orang-orang yang ”lupa” hakikat dirinya dan amanah yang diembannya sebagai seorang takmir masjid.
Yang kulihat hari ini adalah segerombolan manusia, yang kurang atau malah sudah mati tumpul sensitivitasnya melihat kebutuhan masjid.
Yang kulihat hari ini hanyalah orang yang saling mengandalkan orang lain, tanpa pernahmau untuk terjun dan lebih mengetahui.
Yang kulihat hari ini hanyalah sekolompok manusia yang dengan sangat ”buas” menggunakan fasilitas yang diberikan oleh masjid.
Yang kulihat hari ini, adalah orang-orang yang rendah komitmen dirinya pada amanah yang dia pegang.
AKANKAH AKU JUGA TERMASUK ORANG-ORANG INI?
Bobot Arya sudah nambah
Nama lengkapnya Arya Dea Asmara Bangun. Nama yang bagus, keren dan modern kan? Tapi jangan kaget kalau melihat penampilan anak asuh kami yang satu ini. Bayangkan, dalam usia 5 tahun berat badan Arya baru 5 kg. Bandingkan dengan Aira, cucu pertama presiden SBY yang umurnya baru 35 hari tapi bobotnya sudah lebih dari 5 kg.
Ya jelas tidak sebanding lah …begitu komentar anak-anak saya saat ngomongin ini, yang satu lahir dan dibesarkan ibunya di rumah gedheg dekat kuburan di pinggiran selatan kota Solo, yang satunya lahir dan dibesarkan di istana negara. Jauuuh….kayak bumi dan langit!
Sudah hampir 4 bulan ini Arya tinggal di asrama Panti Asuhan Yatim Putra Banyuanyar, menyusul dua kakaknya (Dimas dan Yogi) yang sudah 1 tahun ini tinggal di asrama. Pasangan mas Slamet Jayadi dan mbak Mar’ah Shalihah yang mengasuh anak-anak berusaha memberikan asupan nutrisi yang cukup agar pertumbuhan Arya bisa normal seperti anak-anak seusianya. Bahkan kemarin mas Jay menyempatkan konsultasi ke ahli gizi di UMS untuk minta nasihat gimana caranya “memompa” fisik Arya.
Hampir tiap hari mas Jay nimbang badan Arya. Sebelum ramadhan kemarin mas Jay ngasih laporan sambil berbinar : ustadz, Arya sudah tambah 1 kg :-) Teman-teman pengurus yayasan yang sedang rapat serempak berucap : alhamdulillah….
Lalu pertanyaannya sekarang pada kita, akankah kita menjadi abdul-buthun (sang hamba perut)? naudzubillah himandzlik....mengacalah pada dik Arya....
Monday, December 8, 2008
Kembali tentang Kurban (Kisah)
Demikianlah kisahnya .....
Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban. Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku, dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan. Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada Idul Adha nanti, sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan Nabi Allah, Ibrahim & Nabi Ismail.
Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti. Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.
“Berapa harga kambing yang itu pak?” Ujarku menunjuk kambing coklat tersebut.
“Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah, tidak kurang” kata si pedagang berpromosi matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.
“Tidak bisa turun pak?” kataku mencoba bernegosiasi.
“Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal” si pedagang bertahan.
“Satu juta
“Maaf pak, masih jauh.” ujarnya cuek.
Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.
“Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus
“Masih belum nutup pak” ujarnya tetap cuek.
“Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?” ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.
“Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa datang ke sini sendiri. Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput” kata si pedagang meledek.
Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga selain yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing
lainnya yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu. Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang harganya kini selangit.
“Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?” kataku kemudian.
“Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus
Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian “korpri” yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.
“Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?” katanya kagum.
“Dua juta tidak kurang tidak lebih kek.” kata si pedagang setengah malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek.
“Weleh larang men regane (mahal benar harganya)?” kata si kakek dalam bahasa Purwokertoan.
“Bisa ditawar-kan ya mas?” lanjutnya mencoba negosiasi juga.
“Cari kambing yang lain aja kek.” si pedagang terlihat semakin malas meladeni.
“Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah Qurban taun iki (Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini). Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas.” katanya tetap bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu dibukanya, enam belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang
“Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse (kambingnya) dianter ke rumah ya mas?” lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.
Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya sejak tadi. Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek, kemudian dihitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu.
“Kek, ini ada lebih
“Ora ono ongkos kirime tho…?” (Enggak ada ongkos kirimnya ya?) si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih.
“Dua juta sudah termasuk ongkos kirim” si pedagang yg cukup jujur memberikan
“Mau diantar ke mana mbah?” (tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi mbah).
“Alhamdulillah, lewih (lebih) lima puluh ribu iso di tabung neh (bisa ditabung lagi)” kata si kakek sambil menerimanya.
“Tulung anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat itu ya), sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid Baiturrohman,
takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan pegawe Pemda Pasir Mukti, Insya Allah bocah-bocah podo ngerti (Insya Allah anak-anak sudah tahu).”
Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah di sepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang disandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari X-Trail milikku. Perlahan diangkat dari sandaran, kemudian dengan sigap di kayuhnya tetap dengan semangat.
Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku. Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol, sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya. Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek. Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan. Yang pasti secara materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku sebagai Manajer perusahaan swasta asing. Yang sanggup membeli rumah di kawasan cukup bergengsi. Yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga ban-nya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super. Yang sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor gede) dan memilikinya. Yang sanggup membeli hewan Qurban dua ekor sapi sekaligus.
Tapi apa yang aku pikirkan? Aku hanya hendak membeli hewan Qurban yang jauh di bawah kemampuanku, yang harganya tidak lebih dari service rutin mobil X-Trail, kendaraanku di dunia fana. Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya.
Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia balikkan hati hambaMu yang tak pernah bersyukur ini ke arah orang yang pandai mensyukuri nikmat-Mu.
Berkurban.....
Allahu Akbar….Allahu Akbar… Allahu Akbar….
Laailahaillallah hu Allahu Akbar
Allahu Akbar walilla hil hamd....
Subhanallah....Syukurku ya Rabbi atas segala nikmat yang beri hari ini.
Kau pertemukan lagi aku dengan bulan yang mulia ini.
Kau ijinkan kembali aku mereguk indahnya kesabaran siti hajar
Kau berikan diri ini kesempatan mendalami kembali makna keikhlasan dari seorang Ismail
Kau berikan peluang itu kepadaku untuk kembali BELAJAR DARI IBRAHIM....
Subhanallah...alunan takbir, tahmid mengumandang seiring perjalanan hari ini. 7 ekor kambing telah kami kurbankan sebagai wujud ketakwaan kami dan pengharapan besar kami agar dapat lebih Kau kasihi. Ya Rabbana....mudahkanlah segala urusan-urusan kami.
Friday, December 5, 2008
Kaderisasi.....Dulu....Sekarang......
Berangkat dari sebuah kegelisahan, melihat semakin tidak rapinya (absurd, mungkin lebih jelasnya) berbagai agenda-agenda yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga dakwah. Yang muaranya juga berdampak pada para du’at-du’at yang beraktivitas disana. Kalau boleh bernostalgia merenungkan masa lalu yang pernah aku alami dan bagiku itu sangat berarti, ada beberapa yang ingin kubagi, dianataranya:
1. Dulu, penanganan pendampingan oleh kaderisasi sangatlah baik. Ada berbagai program yang disiapkan sebagai sebuah sistem yang mekanistik dan berjalan secara sinergik dengan berbagai agenda-agenda keuamatan yang dijalankan oleh lembaga ini. Mulai tahap perekrutan yang memberi kesan mendalam, karena mengedepankan kedekatan dan interaksi antar individu sehingga benar-benar seorang yang akan direkrut merasakan bahwa ada saudaranya disampingny meski dia bukanlah orang di kota ini. Merasa bahwa ada orang yang memberikan perhatian yang tulus tanpa adanya misi-misi tersembunyi yang diwujudkan dengan perhatian dan kasih sayang serta pengahargaan yang tulus kepadanya. Persiapan pelaksanaan perekrutan yang , Subhanallah, berjalan dengan baik. Masih kuingat dulu, beberapa penyaji materi adalah beliau para asatidz yang sekarang sepertinya mulai pergi (baca: kita tinggalkan). Aku masih ingat, pada saat itu masih menggunakan nama yang sama dengan hari ini, SIDIK (Studi Dasar Islam Kontemporer), yang penyaji materinya diataranya, Ust. Dr. Mu’nudinillah Basri M.A, Ust. Supomo, S.S, Ust. Abdul Hakim, Ust, Didik Hermawan, Ust. Mahmud Mahfudz Lc. Subhanallah, demikian indah untaian kata yang beliau tuturkan kepada kami para anggota mula, sehingga benar-benar merasuk kedalam sanubari kami yang terdalam. Namun sekarang? Dengan mengatasnamakan penjenjangan/ marhaliah, maka Ustad-Ustad hanya dipakai khusus untuk marhaliah tertentu saja, tidak semua bisa mendapatkan taujih khusus dari beliau, apalagi bagi mereka yang masih awal. ,mereka tidak akan pernah kenal siapa Ust. Mu’in, Siapa Ust. Hakim, Siapa Ust. Mahmud, karena mungkin mereka belum bisa sampai ke marhalah tertentu yang memungkinkan dia masuk kedalamnya. Seingatku, angkatan 2003-lah angkatan terakhir yang merasakan indahnya taujih perekrutan awal lembaga ini yang paling banyak pesertanya, paling solid (Alahamdulillah sampai hari ini), karena kami mendapatkan satu hal yang berKESAN bagi kami, tidak hanya satu aktivitas daurah atau pelatihan yang miskin nuansa ruhiy, materi-materi yang diberikan oleh pembicara yang tidak menarik sama sekali karena dia baru keamrin dihubungi, pelatihan yang persiapannya kurang maksimal karena tidak ada orang yang mengurusi dan berbagai kekurangan lain yang kulihat hari ini.
2. Dulu, ada bentuk pendampingan yang luar biasa hebat, namun sayangnya, entah dengan pertimbangan apa, tidak lagi dijalankan dengan baik. Masih kuingat, selepas daurah awal, mereka yang terekrut dibagi-bagi berdasarkan kelompok-kelompok tertentu yang jumlahnya berkisar 4 sampai 5 orang baik di ikhwan atau di akhwat. Bertemu sekali dalam sepekan untuk membahas berbagai metode, pengetahuan, mekanisme dan berbagai sistem yang belum kami ketahui sebelumnya. Tentang fund rising, komunikasi efektif, tentang kemahasiswaan, tentang dakwah melalui organisasi, pengenalan tentang lemabag dakwah ini. Subhanallah, semua mewarnai jiwa kami yang gersang kala itu dengan embun sejuk taujih dalam kebersamaan yang hakiki. Sehingga benar-benar menjadi satu ikatan yang kuat antara kami dengan para pengelola yang merumuskan ini semua.
Namun mungkin kami hanyalah ORANG-ORANG DULU yang tidak lagi memiliki saham atas pengelolaan hari ini.
Wednesday, December 3, 2008
Ijinkan Aku MARAH......
Saatnya untuk marah…..baru saja menamui blog-blog tidak bermutu dan tidak bertanggung jawab, pertanyaan yang tidak bermutu dan tidak perlu dijawab. Pertanyaan tentang internetan malem-malem, dengan speedy, saling ngomentari, sudah pindah ke WP, benar-benar bikin jengkel. Pantas saja kinerja kita begini-begini aja, stagnan kalau memang tidak ingin dikatakan amburadul….Saatnya marah dengan mengucapkan………..AKU TIDAK MENYUKAINYA……
Futsalan Hari Ini, Rabu 3 Desember 2008
Bagi sebagian orang, berolahraga merupakan suatu kebutuhan. Namun ada sebagian yang lain lebih senang untuk tidak peduli pada fisik jasmaniahnya. Bagitupun diriku, aku ingin termasuk orang yang perhatian pada tubuhku. Bermain futsal merupakan salah satu alternatif olahraga selain renang dan pastinya jalan-jalan pagi. Aku ingin memulai dengan satu keyakinan dan kepahaman bahwa apa yang kulakukan adalah satu bentuk penjagaan sekaligus bentuk kesyukuran atas nikmat yang Allah SWT berikan kepadaku.
Tuesday, December 2, 2008
Ada apa dengan Kita???
Tentang hari ini tak banyak yang dapat kuceritakan. Masih berinteraksi dengan berbagai aktivitas harian yang seharusnya sudah dapat aku kerjakan jauh-jauh hari sebelumnya. Membaca artikel-artikel, mengurus masjid “ku”, memperhatikan aktivitas adik-adik jamaah, semuanya berjalan normal. Namun memang aku harus juga persiapan.
Jadi teringat taujih Ust. Wiranto yang disampaikan dengan linangan air mata kepada kami saat masa-masa awal I’dad dulu, di masjid Al fath pabelan. Belaiu menyampaikan:
“Saya ini orang yang celele’an, saya tidak pernah tahu amal apa yang telah saya lakukan selama ini yang diterima oleh Allah. Maka dari itu, ketika Allah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan satu kebaikan, saya berusaha untuk maksimal di dalamnya”
Ngeblog nggak ada masalah menurutku, namun jangan jadikan blog sebagai media bagi kita, terutama mereka yang terbina, lalai dan terjerumus pada jebakan khalwat dengan lawan jenis. Yang ikhwan harusnya berpikir, yang akhwat pun jangan terpancing. Mari kita kembali komitmenkan dalam diri kita, bahwa blog adalah salah satu wasilah yang diberikan dalam rangka kebaikan, sejalan dengan apa yang ditaujihkan pak Wir, mari kita maksimalkan peran kebaikan dari ngeblog, bukan malah merusaknya dengan aktivitas yang tidak bertanggung jawab.